PENDAHULUAN
Propinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) adalah propinsi terkecil di Jawa
dengan penduduk hanya 3,1 juta jiwa (2000). Pada akhir dekade enam puluhan
propinsi ini dikenal sebagai propinsi ”termiskin” No.3 dari bawah sesudah
propinsi NTT dan NTB, karena 47% wilayahnya yaitu kabupaten Gunungkidul,
merupakan wilayah tandus. Sebagian besar kabupaten Gunungkidul, kabupaten
Kulonprogo, dan sebagian kecil wilayah kabupaten Bantul adalah daerah kering
yang tidak berpengairan, sehingga makanan pokok penduduknya bukan beras tetapi
ketela pohon yang dikeringkan yang disebutgaplek.
Pada tahun 1973 David Penny dan Masri Singarimbun menerbitkan hasil
penelitiannya di Sriharjo, Imogiri, Bantul, tentang kemiskinan dan tekanan
penduduk dalam bentuk monografi di Cornell University berjudul Population
and Poverty in Rural Java: An Economic Arithmetic from Sriharjo. Monografi
inilah yang menjadikan desa Sriharjo ”terkenal” dan propinsi DIY menjadi
”simbol kemiskinan” di Indonesia. Sejumlah pengunjung dari dalam dan luar
negeri berdatangan untuk mendalami ”strategi bertahan hidup” (survival)
dari penduduk perdesaan yang kemiskinannya parah seperti di Sriharjo ini.
Kini, 3 dasawarsa kemudian, meskipun Indonesia kembali menghadapi masalah
ekonomi berat setelah krisis moneter 1997-1998, rakyat Yogyakarta termasuk
salah termakmur di Indonesia. Indek Pembangunan Manusia (Human Development
Index) penduduk DIY tahun 1999 adalah nomor 2 terbaik sesudah DKI-Jakarta,
sedangkan Indek Daya Beli penduduk dan Indek Harapan Hidupnya tertinggi di
Indonesia.
Perubahan dan kemajuan yang “dramatis” dari kemakmuran dan kesejahteraan
penduduk DIY selama periode 1966-1996 menimbulkan banyak pertanyaan. Propinsi
yang miskin sumberdaya alam hanya dapat berkembang jika memiliki sejumlah
sektor strategis dan/atau sumber daya manusianya berkualitas. Sektor-sektor
strategis di DIY adalah industri pariwisata dan industri pendidikan yang
keduanya memang membutuhkan sumberdaya manusia yang berkualitas baik untuk
mendukungnya, dan ini berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya yang tinggi yang
diwariskan kerajaan-kerajaan Mataram kuno, Ngayogyokarto Hadiningrat.
Pada awal kemerdekaan Indonesia (1946-1949) Yogyakarta pernah menjadi ibukota
Republik Indonesia. Raja Mataram Sultan Hamengkubuwono IX adalah pendukung
paling awal proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, dan pernah menjabat
sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia (1973-78).
PENDUDUK DAN KEMISKINAN
Ada argumentasi sederhana yang datang dari negara-negara yang sudah maju
bahwa suatu Negara menjadi miskin jika membiarkan penduduknya tumbuh “menurut
deret ukur”. Penduduk yang tumbuh tak terkendali pasti cepat menurun
kemakmurannya karena produksi pangan tumbuh lambat ”mengikuti deret hitung”.
Inilah teori sedih (dismal) dari Thomas Robert Malthus (1817) yang
mengakibatkan ilmu ekonomi disebut sebagai ilmu yang memilukan (the dismal
science) oleh Thomas Carlyle (1849). Untuk tidak menyerah begitu saja pada
pandangan Carlyle, Mancur Olson dan Satu Kahkinen menerbitkan buku A
Not-So-Dismal Science (Oxford, 2000) yang mengacu pada penelitian
mendalam “dari bawah” yang meskipun mahal dan memakan banyak energi, tokh dalam
jangka panjang “jauh lebih murah”.
Penny dan Masri meskipun laporan penelitiannya sangat pesimistik, tokh
tidak menutup kemungkinan terhadap peranan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya yang dikembangkan masyarakat sendiri dari budaya setempat. Dalam
masyarakat desa Sriharjo, ditemukan praktek-praktek KB (keluarga berencana)
asli berupa ”mboten kempal” (tidak tidur bersama) yang dapat
menjarangkan kelahiran anak.
”Jalan keluar” untuk mengatasi kemiskinan yang disebabkan tekanan penduduk
merupakan pertemuan antara prakarsa asli penduduk dengan program pemerintah.
Misalnya untuk data Sriharjo, intensifikasi pertanian, industrialisasi
perdesaan, migrasi, dan keluarga berencana. Dari empat jalan keluar atau
pemecahan ini, migrasi, terutama yang bersifat sementara, rupanya paling
berhasil, yaitu bekerja di luar pertanian atau di luar desa, sehingga dapat
membawa pulang uang untuk belanja keluarga. Belakangan banyak anak-anak muda
merantau ke Jakarta atau luar Jawa, bahkan Malaysia atau Hongkong, untuk
bekerja ”mencari uang”. Anak-anak muda ini kebanyakan pulang ke desa (mudik)
sekali setahun pada hari raya Idul Fitri dan/atau mengirimkan uang secara rutin
untuk membantu belanja orang tua atau membantu biaya sekolah adik-adiknya.
Demikian tidak sepenuhnya benar jika dikatakan bahwa kemiskinan disebabkan
oleh kepadatan/kelebihan penduduk semata-mata, karena: pertama,
orang-orang desa sebenarnya cukup sadar untuk tidak memiliki banyak anak dengan
melaksanakan KB; dan kedua, jika ada kesempatan penduduk desa
selalu ”meninggalkan desa” untuk mencari pekerjaan di mana saja. Sama sekali
tidak benar jika dikatakan orang-orang desa selalu ”nrimo” (menerima apa
adanya), ”pasrah” dan berfilsafat ”mangan ora mangan waton kumpul”
(makan tidak makan asal berkumpul). Pertumbuhan penduduk daerah miskin di DIY
seperti Gunungkidul dan Kulonprogo dewasa ini sudah rendah sekali dan bahkan
minus.
PEMBANGUNAN PERTANIAN
Indonesia yang mulai Repelita I (1969-74) bekerja keras membangun
perekonomiannya berhasil mengatasi masalah pangan yang dihadapi dan mencapai
swasembada beras tahun 1984. Dengan keberhasilan ini Indonesia yang merupakan
negara berkembang terbesar no 3 di dunia, sesudah RRC dan India, tidak pernah
tercatat dalam sejarah mengalami tragedi kelaparan (starvation) seperti
yang pernah terjadi di India, Bangladesh, atau sejumlah negara di Afrika.
Memang tahun 1997 terjadi ”tragedi” kelaparan di kabupaten Jayawijaya di Irian
Jaya. Hal ini dapat terjadi karena musim kering berkepanjangan, dan penduduknya
tidak meninggalkan tempat untuk mencari bantuan karena takut terlibat perang
dengan suku-suku lain, dan takut terkena penyakit malaria jika turun dari
gunung.
Keberhasilan pembangunan pertanian di propinsi DIY di samping
diluncurkannya program BIMAS (bimbingan massal) intensifikasi padi (bahkan juga
palawija), juga terutama karena petani memberikan tanggapan sangat positif
terhadap program pemerintah ini. Program Bimas mencakup 5 upaya (Panca Usaha)
yaitu: (1) penggunaan bibit unggul, (2) pemupukan dengan pupuk kimia, (3)
pemberantasan hama dan penyakit dengan obat-obatan; (4) pengairan, dan (5) cara
bercocok tanam yang baik dan benar.
Anne Booth dalam buku ”Agricultural Development in Indonesia” (1988)
melaporkan bahwa produksi padi per hektar adalah tertinggi di Indonesia (49,7
kw) yang dapat diterangkan dari pemupukan tertinggi (urea) 263 kg, dan rasio
irigasi lahan yang tinggi (61,4) (tabel 1).
Jelaslah bahwa petani Yogyakarta memang menjadi contoh nasional yang mampu
dengan cepat mengadopsi teknologi baru yang memungkinkan peningkatan produksi
padi secara menyakinkan, sehingga propinsi ini meskipun luas sawahnya yang
beririgasi relatif sempit, dapat mengatasi masalah pangan penduduknya. Lima
propinsi menduduki tempat teratas dalam hal ini yaitu disamping DIY juga Jawa
Timur, Jawa Tengah, Bali, dan Jawa Barat. Bahkan dibandingkan dengan Jepang dan
Taiwan petani Yogyakarta dan Jawa mampu melipatduakan hasil per hektar padi
jauh lebih cepat yaitu 13 tahun, padahal petani Jepang memerlukan waktu 65
tahun, dan petani Taiwan 32 tahun (tabel 2).
PEMBANGUNAN SDM
Sejumlah peneliti dari luar merasa heran atas berbagai ”kontradiksi”
tentang data-data masyarakat Yogyakarta, terutama perubahan drastis dari salah
satu daerah “termiskin” menjadi salah satu daerah ”termakmur” di Indonesia.
Yang jelas dewasa ini Indek Pembangunan Manusia DIY adalah tertinggi di
Indonesia di luar DKI Jakarta dan Harapan Hidup orang Yogya telah mencapai 71
tahun (1999), juga tertinggi di Indonesia.
Bahwa IPM yang baik menjadi kunci yang dapat menerangkan berbagai
kontradiksi tentang masyarakat DIY rupanya masih sering kurang disadari.
Kualitas manusia atau SDM yang diukur antara lain dari indek harapan hidup,
indek pendidikan, dan indek daya beli, jelas dapat menjadi ukuran keberhasilan
atau kegagalan program-program pembangunan, baik yang datang dari pemerintah
maupun yang dikembangkan masyarakat sendiri. Misalnya program penanggulangan
kemiskinan IDT (Inpres Desa Tertinggal) yang diluncurkan pemerintah tahun 1993
berupa hibah bergulir (revolving grant) sebesar Rp 20 juta per desa per
tahun (diberikan 3 tahun berturut-turut), paling tinggi tingkat keberhasilannya
di DIY (90%), dan Bali (87%), dua propinsi kecil yang lembaga-lembaga adatnya
sangat kuat. Artinya faktor-faktor non-ekonomi telah memberikan sumbangan besar
bagi keberhasilan program ekonomi. Inilah ekonomi kelembagaan (institutional
economics) ajaran ekonomi John R Commons yang lebih menekankan kerjasama (cooperation)
dan tindakan bersama (collective action) dalam pemecahan masalah pertarungan
kepentingan-kepentingan ekonomi (conflict of interest) ketimbang
persaingan (competition). Suatu masyarakat kecil seperti masyarakat
Yogyakarta yang ”budaya”nya relatif tinggi termasuk budaya gotong-royongnya,
dapat menciptakan suasana mendukung (conducive) bagi program-program
pembangunan masyarakat terutama program-program penanggulangan kemiskinan.
Dalam masyarakat ”beradat” seperti Yogya dan Bali ini, sudah terbentuk
dan berkembang sistem pengawasan masyarakat antarmanusia maupun oleh perorangan
warga masyarakat terhadap lembaga-lembaga/instansi-instansi pemerintah dan
masyarakat, sehingga lembaga-lembaga masyarakat cenderung lebih berhati-hati
dan tidak ”sembrono” atau ”neka-neka” dalam melaksanakan pekerjaan pelayanan
pada masyarakat. Akibatnya lebih lanjut, penyimpangan-penyimpangan perilaku
pejabat pemerintah atau pemimpin-pemimpin masyarakat juga dapat sangat
berkurang/ dibatasi.
Demikian (pembangunan) SDM di DIY berhasil bukan semata-mata sebagai hasil
kebijakan/program pemerintah tetapi sebagai hasil bekerjanya secara
normal/alami lembaga-lembaga masyarakat/adat yang terkait erat dengan budaya
setempat.
PENUTUP
Jika peninjau dari luar negeri ingin belajar dari Indonesia tentang
cara-cara menyusun kebijaksanaan dan program-program penanggulangan kemiskinan,
maka DIY dapat dijadikan kasus menarik. Propinsi ini, sebagai ”Daerah Istimewa”
memang mampu mengetengahkan fakta dan data empirik bagaimana kemiskinan
materiil tidak perlu dijadikan alasan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia (SDM). Peningkatan SDM di Yogyakarta tidak menunggu setelah pembangunan
ekonomi berhasil. Justru sebaliknya pembangunan sosial melalui tindakan bersama
(collective action) dan melalui pembangunan pendidikan dan kesehatan,
telah berhasil menjadikan orang Yogya ”berumur panjang” dan bertenaga beli
tertinggi di Indonesia. Tenaga beli yang tinggi tidak harus berarti orang Yogya
berpendapatan tinggi, tetapi yang justru lebih tangguh, orang Yogya mampu
memproduksi barang dan jasa dengan biaya produksi lebih rendah. Dan biaya
produksi rendah (low cost economy) bertolak belakang dengan “ekonomi
biaya tinggi” (high cost economy), cap yang diberikan pada kota Jakarta.
Di Jakarta segala sesuatu serba mahal, yang kini makin sering dikeluhkan para
investor dari luar negeri, yang membandingkannya dengan sejumlah negara
tetangga di Asia Tenggara.
Pelajaran lain yang dapat ditarik dari masyarakat Yogyakarta adalah
pengembangan (sistem) ekonomi moral (moral economy) yaitu
aturan main hidup berekonomi yang tidak semata-mata efisien, tetapi efisien dan
sekaligus adil. Inilahkeadilan ekonomi yaitu aturan
main hubungan-hubungan ekonomi yang didasarkan pada etika, yang
pada gilirannya bersumber pada hukum-hukum alam, hukum Tuhan, dan sifat-sifat
Sosial manusia. John Rawls dalam The Theory of Justice menegaskan
bahwa sistem ekonomi yang adil adalah yang dapat menjamin hasil paling besar
bagi mereka yang paling miskin atau tertinggal. Jadi untuk masyarakat
Yogyakarta, berkembangnya ekonomi rakyat berkat kebijakan
pemerintah yang memihak pada rakyat atau orang miskin membuktikan telah
berkembangnya (sistem) ekonomi moral yang dimaksud.
Dengan demikian “"kontradiksi” telah terjawab, dan kontradiksi
sebenarnya tidak ada. Rakyat atau penduduk Yogyakarta sebenarnya tidak pernah
merasa miskin. Orang Yogya yang tidak terlalu mementingkan atau tidak
menomorsatukan kehidupan materi atau pemupukan harta, menempatkan pendidikan
dan kesehatan pada urutan teratas pengeluarannya. Hasilnya kualitas SDM-nya
tinggi.
Dalam kaitan thesis Hernando De Soto tentang modal
yang mati (dead capital) dalam bukunya yang sedang laris The
Mystery of Capital, modal orang Yogya tidak mati, tetapi orang Yogya mampu
memanfaatkan modal mati ini menjadimodal sosial yang hidup karena
ditanamkan pada diri anak-anak sebagai investasi manusia (human investment).
Pembangunan sosial adalah pembangunan ekonomi, kata Nancy Birdsall dari Bank
Dunia. Di Yogyakarta pembangunan sosial dinomorsatukan, terbukti keberhasilan
pembangunan sosial inilah yang kelak menjadikan pembangunan ekonomi lebih
berhasil.
0 comments:
Post a Comment