Pages

image

My Life My Journey

Everybody wants happiness nobody wants pain, but you can't have a rainbow without a little rain

-siti filza atika-

Thursday, May 5, 2011

KEMISKINAN DAN EKONOMI RAKYAT YOGYAKARTA



PENDAHULUAN
Propinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) adalah propinsi terkecil di Jawa dengan penduduk hanya 3,1 juta jiwa (2000). Pada akhir dekade enam puluhan propinsi ini dikenal sebagai propinsi ”termiskin” No.3 dari bawah sesudah propinsi NTT dan NTB, karena 47% wilayahnya yaitu kabupaten Gunungkidul, merupakan wilayah tandus. Sebagian besar kabupaten Gunungkidul, kabupaten Kulonprogo, dan sebagian kecil wilayah kabupaten Bantul adalah daerah kering yang tidak berpengairan, sehingga makanan pokok penduduknya bukan beras tetapi ketela pohon yang dikeringkan yang disebutgaplek.
Pada tahun 1973 David Penny dan Masri Singarimbun menerbitkan hasil penelitiannya di Sriharjo, Imogiri, Bantul, tentang kemiskinan dan tekanan penduduk dalam bentuk monografi di Cornell University berjudul Population and Poverty in Rural Java: An Economic Arithmetic from Sriharjo. Monografi inilah yang menjadikan desa Sriharjo ”terkenal” dan propinsi DIY menjadi ”simbol kemiskinan” di Indonesia. Sejumlah pengunjung dari dalam dan luar negeri berdatangan untuk mendalami ”strategi bertahan hidup” (survival) dari penduduk perdesaan yang kemiskinannya parah seperti di Sriharjo ini.
Kini, 3 dasawarsa kemudian, meskipun Indonesia kembali menghadapi masalah ekonomi berat setelah krisis moneter 1997-1998, rakyat Yogyakarta termasuk salah termakmur di Indonesia. Indek Pembangunan Manusia (Human Development Index) penduduk DIY tahun 1999 adalah nomor 2 terbaik sesudah DKI-Jakarta, sedangkan Indek Daya Beli penduduk dan Indek Harapan Hidupnya tertinggi di Indonesia.
Perubahan dan kemajuan yang “dramatis” dari kemakmuran dan kesejahteraan penduduk DIY selama periode 1966-1996 menimbulkan banyak pertanyaan. Propinsi yang miskin sumberdaya alam hanya dapat berkembang jika memiliki sejumlah sektor strategis dan/atau sumber daya manusianya berkualitas. Sektor-sektor strategis di DIY adalah industri pariwisata dan industri pendidikan yang keduanya memang membutuhkan sumberdaya manusia yang berkualitas baik untuk mendukungnya, dan ini berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya yang tinggi yang diwariskan kerajaan-kerajaan Mataram kuno, Ngayogyokarto Hadiningrat. Pada awal kemerdekaan Indonesia (1946-1949) Yogyakarta pernah menjadi ibukota Republik Indonesia. Raja Mataram Sultan Hamengkubuwono IX adalah pendukung paling awal proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia (1973-78).

PENDUDUK DAN KEMISKINAN
Ada argumentasi sederhana yang datang dari negara-negara yang sudah maju bahwa suatu Negara menjadi miskin jika membiarkan penduduknya tumbuh “menurut deret ukur”. Penduduk yang tumbuh tak terkendali pasti cepat menurun kemakmurannya karena produksi pangan tumbuh lambat ”mengikuti deret hitung”. Inilah teori sedih (dismal) dari Thomas Robert Malthus (1817) yang mengakibatkan ilmu ekonomi disebut sebagai ilmu yang memilukan (the dismal science) oleh Thomas Carlyle (1849). Untuk tidak menyerah begitu saja pada pandangan Carlyle, Mancur Olson dan Satu Kahkinen menerbitkan buku A Not-So-Dismal Science (Oxford, 2000) yang mengacu pada penelitian mendalam “dari bawah” yang meskipun mahal dan memakan banyak energi, tokh dalam jangka panjang “jauh lebih murah”.
Penny dan Masri meskipun laporan penelitiannya sangat pesimistik, tokh tidak menutup kemungkinan terhadap peranan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya yang dikembangkan masyarakat sendiri dari budaya setempat. Dalam masyarakat desa Sriharjo, ditemukan praktek-praktek KB (keluarga berencana) asli berupa ”mboten kempal” (tidak tidur bersama) yang dapat menjarangkan kelahiran anak.
”Jalan keluar” untuk mengatasi kemiskinan yang disebabkan tekanan penduduk merupakan pertemuan antara prakarsa asli penduduk dengan program pemerintah. Misalnya untuk data Sriharjo, intensifikasi pertanian, industrialisasi perdesaan, migrasi, dan keluarga berencana. Dari empat jalan keluar atau pemecahan ini, migrasi, terutama yang bersifat sementara, rupanya paling berhasil, yaitu bekerja di luar pertanian atau di luar desa, sehingga dapat membawa pulang uang untuk belanja keluarga. Belakangan banyak anak-anak muda merantau ke Jakarta atau luar Jawa, bahkan Malaysia atau Hongkong, untuk bekerja ”mencari uang”. Anak-anak muda ini kebanyakan pulang ke desa (mudik) sekali setahun pada hari raya Idul Fitri dan/atau mengirimkan uang secara rutin untuk membantu belanja orang tua atau membantu biaya sekolah adik-adiknya.
Demikian tidak sepenuhnya benar jika dikatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh kepadatan/kelebihan penduduk semata-mata, karena: pertama, orang-orang desa sebenarnya cukup sadar untuk tidak memiliki banyak anak dengan melaksanakan KB; dan kedua, jika ada kesempatan penduduk desa selalu ”meninggalkan desa” untuk mencari pekerjaan di mana saja. Sama sekali tidak benar jika dikatakan orang-orang desa selalu ”nrimo” (menerima apa adanya), ”pasrah” dan berfilsafat ”mangan ora mangan waton kumpul” (makan tidak makan asal berkumpul). Pertumbuhan penduduk daerah miskin di DIY seperti Gunungkidul dan Kulonprogo dewasa ini sudah rendah sekali dan bahkan minus.

PEMBANGUNAN PERTANIAN
Indonesia yang mulai Repelita I (1969-74) bekerja keras membangun perekonomiannya berhasil mengatasi masalah pangan yang dihadapi dan mencapai swasembada beras tahun 1984. Dengan keberhasilan ini Indonesia yang merupakan negara berkembang terbesar no 3 di dunia, sesudah RRC dan India, tidak pernah tercatat dalam sejarah mengalami tragedi kelaparan (starvation) seperti yang pernah terjadi di India, Bangladesh, atau sejumlah negara di Afrika. Memang tahun 1997 terjadi ”tragedi” kelaparan di kabupaten Jayawijaya di Irian Jaya. Hal ini dapat terjadi karena musim kering berkepanjangan, dan penduduknya tidak meninggalkan tempat untuk mencari bantuan karena takut terlibat perang dengan suku-suku lain, dan takut terkena penyakit malaria jika turun dari gunung.
Keberhasilan pembangunan pertanian di propinsi DIY di samping diluncurkannya program BIMAS (bimbingan massal) intensifikasi padi (bahkan juga palawija), juga terutama karena petani memberikan tanggapan sangat positif terhadap program pemerintah ini. Program Bimas mencakup 5 upaya (Panca Usaha) yaitu: (1) penggunaan bibit unggul, (2) pemupukan dengan pupuk kimia, (3) pemberantasan hama dan penyakit dengan obat-obatan; (4) pengairan, dan (5) cara bercocok tanam yang baik dan benar.
Anne Booth dalam buku ”Agricultural Development in Indonesia” (1988) melaporkan bahwa produksi padi per hektar adalah tertinggi di Indonesia (49,7 kw) yang dapat diterangkan dari pemupukan tertinggi (urea) 263 kg, dan rasio irigasi lahan yang tinggi (61,4) (tabel 1).

Jelaslah bahwa petani Yogyakarta memang menjadi contoh nasional yang mampu dengan cepat mengadopsi teknologi baru yang memungkinkan peningkatan produksi padi secara menyakinkan, sehingga propinsi ini meskipun luas sawahnya yang beririgasi relatif sempit, dapat mengatasi masalah pangan penduduknya. Lima propinsi menduduki tempat teratas dalam hal ini yaitu disamping DIY juga Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan Jawa Barat. Bahkan dibandingkan dengan Jepang dan Taiwan petani Yogyakarta dan Jawa mampu melipatduakan hasil per hektar padi jauh lebih cepat yaitu 13 tahun, padahal petani Jepang memerlukan waktu 65 tahun, dan petani Taiwan 32 tahun (tabel 2).

PEMBANGUNAN SDM
Sejumlah peneliti dari luar merasa heran atas berbagai ”kontradiksi” tentang data-data masyarakat Yogyakarta, terutama perubahan drastis dari salah satu daerah “termiskin” menjadi salah satu daerah ”termakmur” di Indonesia. Yang jelas dewasa ini Indek Pembangunan Manusia DIY adalah tertinggi di Indonesia di luar DKI Jakarta dan Harapan Hidup orang Yogya telah mencapai 71 tahun (1999), juga tertinggi di Indonesia.
Bahwa IPM yang baik menjadi kunci yang dapat menerangkan berbagai kontradiksi tentang masyarakat DIY rupanya masih sering kurang disadari. Kualitas manusia atau SDM yang diukur antara lain dari indek harapan hidup, indek pendidikan, dan indek daya beli, jelas dapat menjadi ukuran keberhasilan atau kegagalan program-program pembangunan, baik yang datang dari pemerintah maupun yang dikembangkan masyarakat sendiri. Misalnya program penanggulangan kemiskinan IDT (Inpres Desa Tertinggal) yang diluncurkan pemerintah tahun 1993 berupa hibah bergulir (revolving grant) sebesar Rp 20 juta per desa per tahun (diberikan 3 tahun berturut-turut), paling tinggi tingkat keberhasilannya di DIY (90%), dan Bali (87%), dua propinsi kecil yang lembaga-lembaga adatnya sangat kuat. Artinya faktor-faktor non-ekonomi telah memberikan sumbangan besar bagi keberhasilan program ekonomi. Inilah ekonomi kelembagaan (institutional economics) ajaran ekonomi John R Commons yang lebih menekankan kerjasama (cooperation) dan tindakan bersama (collective action) dalam pemecahan masalah pertarungan kepentingan-kepentingan ekonomi (conflict of interest) ketimbang persaingan (competition). Suatu masyarakat kecil seperti masyarakat Yogyakarta yang ”budaya”nya relatif tinggi termasuk budaya gotong-royongnya, dapat menciptakan suasana mendukung (conducive) bagi program-program pembangunan masyarakat terutama program-program penanggulangan kemiskinan. Dalam masyarakat ”beradat” seperti Yogya dan Bali ini, sudah terbentuk dan berkembang sistem pengawasan masyarakat antarmanusia maupun oleh perorangan warga masyarakat terhadap lembaga-lembaga/instansi-instansi pemerintah dan masyarakat, sehingga lembaga-lembaga masyarakat cenderung lebih berhati-hati dan tidak ”sembrono” atau ”neka-neka” dalam melaksanakan pekerjaan pelayanan pada masyarakat. Akibatnya lebih lanjut, penyimpangan-penyimpangan perilaku pejabat pemerintah atau pemimpin-pemimpin masyarakat juga dapat sangat berkurang/ dibatasi.
Demikian (pembangunan) SDM di DIY berhasil bukan semata-mata sebagai hasil kebijakan/program pemerintah tetapi sebagai hasil bekerjanya secara normal/alami lembaga-lembaga masyarakat/adat yang terkait erat dengan budaya setempat.

PENUTUP
Jika peninjau dari luar negeri ingin belajar dari Indonesia tentang cara-cara menyusun kebijaksanaan dan program-program penanggulangan kemiskinan, maka DIY dapat dijadikan kasus menarik. Propinsi ini, sebagai ”Daerah Istimewa” memang mampu mengetengahkan fakta dan data empirik bagaimana kemiskinan materiil tidak perlu dijadikan alasan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Peningkatan SDM di Yogyakarta tidak menunggu setelah pembangunan ekonomi berhasil. Justru sebaliknya pembangunan sosial melalui tindakan bersama (collective action) dan melalui pembangunan pendidikan dan kesehatan, telah berhasil menjadikan orang Yogya ”berumur panjang” dan bertenaga beli tertinggi di Indonesia. Tenaga beli yang tinggi tidak harus berarti orang Yogya berpendapatan tinggi, tetapi yang justru lebih tangguh, orang Yogya mampu memproduksi barang dan jasa dengan biaya produksi lebih rendah. Dan biaya produksi rendah (low cost economy) bertolak belakang dengan “ekonomi biaya tinggi” (high cost economy), cap yang diberikan pada kota Jakarta. Di Jakarta segala sesuatu serba mahal, yang kini makin sering dikeluhkan para investor dari luar negeri, yang membandingkannya dengan sejumlah negara tetangga di Asia Tenggara.
Pelajaran lain yang dapat ditarik dari masyarakat Yogyakarta adalah pengembangan (sistem) ekonomi moral (moral economy) yaitu aturan main hidup berekonomi yang tidak semata-mata efisien, tetapi efisien dan sekaligus adil. Inilahkeadilan ekonomi yaitu aturan main hubungan-hubungan ekonomi yang didasarkan pada etika, yang pada gilirannya bersumber pada hukum-hukum alam, hukum Tuhan, dan sifat-sifat Sosial manusia. John Rawls dalam The Theory of Justice menegaskan bahwa sistem ekonomi yang adil adalah yang dapat menjamin hasil paling besar bagi mereka yang paling miskin atau tertinggal. Jadi untuk masyarakat Yogyakarta, berkembangnya ekonomi rakyat berkat kebijakan pemerintah yang memihak pada rakyat atau orang miskin membuktikan telah berkembangnya (sistem) ekonomi moral yang dimaksud.
Dengan demikian “"kontradiksi” telah terjawab, dan kontradiksi sebenarnya tidak ada. Rakyat atau penduduk Yogyakarta sebenarnya tidak pernah merasa miskin. Orang Yogya yang tidak terlalu mementingkan atau tidak menomorsatukan kehidupan materi atau pemupukan harta, menempatkan pendidikan dan kesehatan pada urutan teratas pengeluarannya. Hasilnya kualitas SDM-nya tinggi.
Dalam kaitan thesis Hernando De Soto tentang modal yang mati (dead capital) dalam bukunya yang sedang laris The Mystery of Capital, modal orang Yogya tidak mati, tetapi orang Yogya mampu memanfaatkan modal mati ini menjadimodal sosial yang hidup karena ditanamkan pada diri anak-anak sebagai investasi manusia (human investment). Pembangunan sosial adalah pembangunan ekonomi, kata Nancy Birdsall dari Bank Dunia. Di Yogyakarta pembangunan sosial dinomorsatukan, terbukti keberhasilan pembangunan sosial inilah yang kelak menjadikan pembangunan ekonomi lebih berhasil.

0 comments:

Post a Comment